Jumat, 12 Desember 2008

Pengelolaan Danau Toba secara berkelanjutan (Sustainable Development)

Di masa lampau, jika berbicara danau Toba maka kita berbicara keindahan, keajaiban karya Tuhan. Di tambah pula dengan cerita tentang kekayaan budaya Batak di pinggiran Danau Toba. Karena cerita ini, maka tidak lepas dari banyaknya turis manca negara yang hadir mengunjungi danau Toba. Entah kenapa, tiba-tiba saja Danau Toba berubah menjadi cerita pencemaran air. Berita pencemaran air diawali dari tidak disiplinya masyarakat mengelola limbah rumah tangga. Yang lebih konyol adalah cerita tentang hotel yang membuang limbahnya ke Danau Toba. Bagaimana mungkin pengusaha hotel membuang limbah hotel ke danau?. Bukankah pengusaha hotel adalah orang berpendidikan?.

Tidakkah mereka tahu bahwa mereka menjual keindahan?. Jika mereka menjual keindahan, mengapa mereka berpartisipasi mengotori Danau Toba?. Tidakkah seharusnya pengusaha hotel dan restauran menyumbangkan pendapatannya untuk merawat Danau Toba?. Inilah fakta yang sulit diterima akal sehat.

Pencemaran semakin parah ketika masyarakat memulai budidaya ikan di keramba jaring apung (kejagung). Menurut informasi, gagasan ini dibawa seorang anak yang tinggalnya di pinggiran Danau Toba kuliah di perguruan tinggi terkemuka di kota Bandung. Konon, anak ini melihat budidaya Kejagung di Waduk Cirata Jawa Barat. Sebagai mahasiswa, dia ingin masyarakat di daerahnya memperoleh penghasilan yang tinggi sebagaimana dilihatnya di Jawa Barat. Tentu saja, kita menaruh hormat terhadap mahasiswa ini.

Ketika kejagung hanya dimiliki masyarakat lokal, pencemaran tidak begitu terdengar, tetapi ketika masuknya PT. Aquafarm dan pengusaha Kejagung berskala besar, mulailah secara jelas betapa berbahayanya budidaya kejagung jika melebihi daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Bahaya kejagung yang mengerikan adalah terjadinya penyuburan (eutrofikasi) danau. Penyuburan terjadi akibat sisa-sisa pakan itu. Sisa-sisa pakan itu berfungsi sebagai pupuk yang menjadi sumber makanan bagi tumbuh-tumbuhan di danau Toba. Penyuburan danau mengakibatkan phytoplankton bertumbuh secara tidak terkendali (blooming). Ketika terjadi blooming plankton, maka ketika plankton mati mengalami proses pembusukan. Proses pembusukan ini membutuhkan oksigen. Karena proses pembusukan plankton membutuhkan oksigen maka terjadi persaingan oksigen antara pembusukan plankton dengan kebutuhan oksigen dengan ikan-ikan di danau. Tidak heran, jika tiba-tiba ikan-ikan banyak yang mati. Jadi, jika ada wawancara Kepala Dinas Perikanan di media yang bukan latar belakang perikanan atau biologi seringkali secara sembarangan menyebutkan penyebab kematian ikan secara mendadak dalam jumlah yang besar.

Dampak kehadiran kejagung yang melebihi daya dukung (carrying capacity) selain menimbulkan blooming adalah membludaknya tumbuhan enceng gondok (Eicornia sp) dan tumbuhan lumut. Menurut pengamatan saya di sekitar Danau Toba, para nelayan mengatakan ketika mereka melempar jala ke danau maka jala itu mengapung diatas lumut. Itulah salah satu bukti pertumbuhan tanaman lumut tidak terkendali lagi di danau Toba. Jika ini tidak diatasi, maka ada kemungkinan kapal yang melewati Danau Toba akan terjebak lumut.

Memang, pertumbuhan lumut ini dapat juga diakibatkan ekosistem Danau Toba yang telah rusak. Kemungkinan rusaknya ekosistem Danau Toba diakibatkan masuknya spesies baru seperti ikan begu-begu (betutu) yang pertama kali di tabur oleh TB Silalahi. Saya yakin, niat TB Silalahi untuk menabur ikan betutu ke danau Toba adalah pertimbangan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar danau Toba. Tetapi, latar belakang beliau seorang militer menyebabkan beliau mengabaikan dampak biologi kehadiran ikan betutu. Faktanya, pasca ditaburnya ikan betutu, ikan mas (Cyprinus carpio), ikan mujahir hampir punah. Permasalahan ini dapat diteliti oleh pakar perikanan atau biologi untuk mencari jalan keluar. Yang pasti, salah satu klausul di Organisasi Danau se-Dunia (World Lakes) menyebutkan tidak diperbolehkan menanam spesies baru ke danau secara sembarangan, kecuali telah diteliti apakah spesies itu mengganggu ekosistem baru atau tidak. Untuk menghindari hal semacam ini, perlu dibuat Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan untuk menabur spesies secara sembarangan. Dan, jika masyarakat di sekitar Danau Toba memelihara ikan, tidak diperbolehkan membeli benih ikan di luar wilayah danau. Sebab, rentan sekali membawa penyakit. Seperti benih yang berasal dari Bogor maupun dari Bukit Tinggi ada kemungkinan membawa penyakit herpes dan penyakit yang lain. Solusi untuk menghindari penyakit ini adalah masyarakat memiliki pembenihan di sekitar danau Toba.

Solusi Yang Terbaik Bagi Danau Toba.

Melihat kondisi Danau Toba yang semakin memprihatinkan, maka pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus mengambil pilihan yaitu mencabut izin kejagung berskala besar seperti PT. Aquafarm, PT. Allegrindo sebagai usaha peternakan babi yang membuang limbahnya ke danau Toba. Masyarakat yang mengelola kejagung dibatasi jumlahnya dan ditata berdarkan zona. Dengan kata lain peternakan kejagung oleh masyarakat harus diawasi secara ketat. Terkait karena Danau Toba dikeliling oleh 7 Kabupaten, maka para bupati harus tunduk kepada Peraturan Daerah yang menyangkut ekosistem danau Toba. Jika ego para bupati berdasarkan kepentingan ekonomi sesaat, maka Danau Toba tinggal kenangan. Mana yang kita pilih?. Kepentingan ekonomi sesaat atau masa depan Danau Toba?.

Pendapat Bungaran Saragih di majalah Tapian edisi April 2008 patut disimak. Bungaran Saragih menyatakan bahwa usaha pertanian sebenarnya tidak cocok dilakukan di sekitar Danau Toba. Bungaran Saragih yang mantan menteri pertanian itu menyatakan bahwa selain tanahnya terjal juga tidak subur. Lalu apa yang kita lakukan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar Danau Toba yang turisnya makin langka?.

Dalam konteks pemanasan global (global warming), maka gagasan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba (YPPDT) yang digagas oleh Profesor Midian Sirait dkk untuk menjadikan Danau Toba sebagai Taman Nasional menjadi relevan. Tetapi pengelolaan Taman Nasional yang mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Jika kawasan Danau Toba menjadi Taman Nasional maka masyarakat Danau Toba yang mengelola Taman itu dengan sistem kompensasi. Sistem kompensasi itu telah disepakati masyarakat dunia di Bali bulan Desember 2007. Masyarakat pinggiran Danau Toba menjaga kawasan Danau Toba dengan cara konservasi secara terus-menerus dan masyarakat dunia yang memberi kompensasi. Sistem kompensasi ini disebut perdagangan Carbon (Carbon Trade). Menurut informasi, dana ini ada di Bank Indonesia. Dana itu berasal dari pemerintah Inggeris dan Negara-negara maju di dunia. Tujuan dana itu adalah untuk menyelamtakan bumi dari pemanasan global. Caranya adalah Negara-negara maju memajukan industrinya, sementara Negara tropis seperti Indonesia menjaga hutannya.

Jikalau kawasan danau Toba menjadi Taman Nasional, maka hal-hal yang dilakukan masyarakat pinggiran danau Toba adalah menanam tanaman keras. Mereka tidak boleh lagi menanam tanaman berumur pendek untuk menghindari longsor dan lain sebagainya. Mereka dapat memelihara tanaman keras dengan sistem kompensasi. Mereka juga dapat beternak seperti kambing, sapi, kerbau yang tidak mengganggu kelestarian Danau Toba.

Para pengusaha hotel dan restoran juga wajib memberi kompensasi untuk melestarikan Danau Toba. Tidak hanya itu, semua usaha yang memperoleh penghasilan danau Toba bertanggungjawab untuk melestarikan danau Toba. Untuk melestarikan danau Toba, kita harus memiliki pilihan. Pilihan dengan mengembangkan kejagung dan disisi lain mati-matian untuk mendatangkan pariwisata adalah pilihan yang salah. Oleh sebab itu, mengelola Danau Toba haruslah berkelanjutan (sustainable).

Danau Toba sustainable seperti dijadikan Taman Nasional yang mengakibatkan kedatangan turis, menyumbangkan carbon untuk menyelamtakan bumi, dan akibat konkrit dari taman nasional adalah ekonomi masyarakat meningkat. Peningkatan ekonomi itu berasal dari kompensasi sumbangan carbon dari pohon, peternakan, kehadiran turis, hasil tangkapan ikan dan lain sebagainya.

Jikalau kondisi sekarang terus berlanjut, dan tidak ada pilihan yang radikal, maka Danau Toba hanya menjadi kenangan seperti kasus-kasus danau di Afrika.

Tidak ada komentar: